Sistem Otomasi Perpustakaan
Sistem Otomasi Perpustakaan atau
Library Automation System adalah software yang beroperasi berdasarkan
pangkalan data untuk mengotomasikan kegiatan perpustakaan. Pada umumnya
software yang digunakan untuk otomasi perpustakaan menggunakan model
“relational database”. Database atau pangkalan data merupakan kumpulan dari suatu
data. Dalam perpustakaan paling tidak ada dua pangkalan data yaitu data buku
dan data pemustaka. Sistem Otomasi Perpustakaan di Indonesia pada umumnya hanya
mempunyai tiga modul yaitu katalogisasi, sirkulasi, dan OPAC dan ini merupakan
modul minimal yang harus dimiliki oleh perpustakaan untuk kepentingan otomasi.
Modul – modul tersebut merupakan sistem yang sudah terintegrasi sehingga
istilah sistem otomasi perpustakaan juga sering disebut dengan sistem
perpustakaan terintegrasi (Integrated Library System).
Otomasi
perpustakaan akan memperingan pekerjaan staf perpustakaan dan memudahkan
pemustaka dalam memanfaatkan perpustakaan. Singkat kata otomasi perpustakaan
akan menjadikan pekerjaan dan layanan perpustakaan dapat dilaksanakan secara
cepat, tepat dan akurat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan di atas
uraian berikut hanya menitikberatkan pada tiga hal tersebut.
1. Memudahkan dalam pembuatan katalog.
Perpustakaan
yang belum menerapkan otomasi pada umumnya harus membuat kartu katalog agar
pemustaka dapat menemukan sebuah buku yang diketahui berdasarkan pengarang,
judul atau subyeknya dan menunjukkan buku yang dimiliki perpustakaan.
2. Memudahkan dalam layanan sirkulasi
Sebelum
perpustakaan menggunakan komputer layanan proses peminjaman biasanya dilakukan
dengan menggunakan kartu. Pekerjaan yang harus dilakukan diawali dengan petugas
meminta kartu pemustaka, mengambil kartu pinjam, menulis nomer buku di kartu
pinjam, mencabut kartu buku dan diakhiri dengan mem “file” kartu. Pekerjaan
tersebut memakan waktu yang cukup lama dan cukup rumit. Dengan komputer
pekerjaan peminjaman buku dapat dilakukan dengan cepat dan mudah yaitu hanya
dengan menyorot “barcode” kartu kemudian menyorot “barcode” buku selanjutnya
memberikan cap tanggal pengembalian.
3. Memudahkan dalam penelusuran melalui
katalog.
Otomasi
perpustakaan akan memudahkan pemustaka dalam menelusur informasi khususnya
katalog melalui OPAC (Online Public Access Catalog). Pemustaka dapat menelusur
suatu judul buku secara bersamaan. Disamping itu, mereka juga dapat menelusur
buku dari berbagai pendekatan. Misalnya melalui judul, kata kunci judul,
pengarang, kata kunci pengarang, subyek , kata kunci subyek dsb. Sedangkan
apabila menggunakan katalog manual, pemustaka hanya dapat akses melalui tiga
pendekatan yaitu judul, pengarang, dan subyek.
Adapun
manfaatnya antara lain :
- mengatasi keterbatasan waktu
- mempermudah akses informasi dari berbagai pendekatan misalnya dari judul, kata kunci judul, pengarang, kata kunci pengarang dsb.
- dapat dimanfaatkan secara bersama-sama
- mempercepat proses pengolahan, peminjaman dan pengembalian
- memperingan pekerjaan
- meningkatkan layanan
- memudahkan dalam pembuatan laporan statistik
- menghemat biaya
- menumbuhkan rasa bangga.
- mempermudah dalam pelayanan untuk kepentingan akreditasi.
Kendala tersebut harus kita antisipasi agar
kita siap untuk menghadapinya. Kendala yang mungkin muncul antara lain :
1.
Kesalahpahaman
tentang otomasi perpustakaan.
Ada beberapa anggapan yang sebetulnya belum tentu
benar adanya. Anggapan yang pertama mengatakan bahwa biaya otomasi perpustakaan
sangat besar. Pengalaman telah menunjukkan bahwa dengan adanya otomasi
perpustakaan justru akan menghemat biaya. Anggapan kedua mengatakan bahwa kalau
nanti semua pekerjaan perpustakaan diotomasikan, maka akan terjadi pengurangan
tenaga bahkan pengangguran staf perpustakaan. Pendapat ini menurut saya juga
tidak tepat. Sebetulnya kebanyakan pustakawan di Indonesia masih bekerja pada
level standar minimal atau bahkan dibawahnya. Mereka hanya melakukan pekerjaan-
pekerjaan seperti katalogisasi, klasifikasi, layanan sirkulasi, referensi dan
layanan majalah secara standar. Belum banyak staf perpustakaan mengembangkan
layanannya seperti layanan kesiagaan terkini (Current Awareness Service),
penyusunan indek dsb.
2. Kurangnya staf yang terlatih.
Kurangnya staf yang terlatih biasanya menjadi kendala
yang menghambat pengembangan otomasi perpustakaan. Pembangunan otomasi
perpustakaan paling tidak harus mempunyai staf yang mampu mengoperasikan
komputer (operator), bahkan kalau perlu mempunyai tenaga ahli. Banyak
perpustakaan yang sampai saat ini masih menjadi tempat pembuangan. Artinya
apabila ada staf yang susah untuk dibina biasanya pemimpim akan memindahkan
staf tersebut ke perpustakaan. Hal inilah yang dapat menyebabkan terhambatnya pengembangan
perpustakaan termasuk dalam membangun otomasi perpustakaan. Keadaan seperti itu
di perpustakaan perguruan tinggi sudah mulai ditinggalkan.
3. Kurangnya dukungan dari pihak
pimpinan.
Dukungan pimpinan merupakan hal yang sangat strategis
dalam membangun otomasi perpustakaan. Tanpa dukungan pimpinan yang memadai
rencana otomasi perpustakaan tidak akan berhasil dengan baik. Dukungan tersebut
dapat berupa dana, pengembangan staf, dan dukungan moril.
4. Input data
Proses input data biasanya juga menjadi kendala dalam
membangun otomasi perpustakaan. Apalagi kalau jumlah koleksi perpustakaan sudah
besar tentu akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Agar proses input
data dapat lancar dan tidak perlu dana besar serta tidak mengganggu layanan
perpustakaan, sebaiknya pada permulaan pelaksanaan otomasi perpustakaan tetap
menjalankan dua sistem yaitu sistem manual dan sistem otomasi. Input data
dimulai dari buku-buku baru, kemudian buku yang sering dipakai, dan kalau
waktunya longgar baru input data buku yang lain. Setelah jumlah data yang
dimasukkan dianggap pantas untuk dilayankan sebaiknya secepatnya dilakukan
layanan sirkulasi dengan komputer. Dengan cara demikian, saya yakin akan
memperlancar proses pelaksanaan otomasi perpustakaan.
Perlu
diingat bahwa pemilihan software otomasi perpustakaan untuk kepentingan jangka
panjang. Kesalahan dalam memilih akan berakibat panjang dan konsekuensinya akan
terjadi pemborosan. G.K. Manjunath menyarankan beberapa kriteria yang
dapat membantu para pustakawan dalam memilih software. Kriteria tersebut adalah
:
- Siapa pengembangnya ? apakah lembaga, perusahaan, atau individu ? Yang paling baik adalah software yang dikembangkan oleh lembaga atau perusahaan yang mempunyai reputase baik. Usahakan tidak membeli software dari individu karena banyak kelemahan yang akan dihadapi.
- Seberapa sering software tersebut direvisi ? Untuk mengetahuinya dapat dilihat dari sejak “launching” pertama berapa kali software telah direvisi.
- Berapa banyak parameter yang tersedia untuk setiap modul ? Semakin banyak parameter yang dimiliki akan semakin fleksibel dan mudah untuk disesuaikan dengan kepentingan perpustakaan kita.
- Apakah software mempunyai fasilitas import dan export data bibliografi yang sesuai dengan ISO2709 ? Format lain seperti MARC Format dan Dublin Core dapat digunakan sebagai pertimbangan.
- Apakah memberikan pelatihan setelah instalasi dan apakah ada buku petunjuk ?
- Apakah software tersebut dapat berjalan di sistem operasi yang utama seperti Windows NT, Linux, Unix dsb.?
- Apakah dapat di akses melalui Web.?
- Apakah juga ada interfacenya dengan e-mail ?
- Berapa banyak yang telah memakai software tersebut ?
- Adakah OPAC nya menawarkan perbedaan password untuk masing pustakawan dan pengguna ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar